Irman Usulkan Perguruan Tinggi Berada di Kemenristek
Ketua DPD RI Irman Gusman mengusulkan agar perguruan tinggi dipindah
dari Kementerien Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan ditempatkan
di Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) agar Indonesia mampu
menghadapi persaingan antarnegara di era globalisasi yang semakin ketat
saat ini.
“Saya menilai perguruan tinggi lebih tepat berada di bawah Kementerian
Riset dan Tekonologi, sehingga hasil riset dan inovasi dari perguruan
tinggi bisa langsung diterapkan,” kata Irman Gusman ketika membuka
kegiatan Konvensi Kampus X dan Temu Tahunan XVI Forum Rektor Indonesia
(FRI) di kampus Universitas Negeri 11 Maret Solo (UNS), kemarin.
Pada kesempatan tersebut hadir Ketua MPR RI Sidarto Danusubroto, Ketua
Forum Rektor Indonesia (FRI) 2013 Laode M Kalamuddin dan Ketua FRI 2014
Ravik Karsidi yang juga Rektor UNS serta sekitar 650 rektor dari
perguruan tinggi negeri dan swasta dari seluruh Indonesia. Menurut
Irman, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia ke depan akan semakin
berat sehingga perlu disikapi secara cermat dan cerdas.
Perguruan tinggi sebagai lembaga intelektual yang di antara tugasnya
melakukan riset dan inovasi, kata dia, memiliki peran dalam dalam
menyikapi tantangan ke depan yang semakin berat. Salah satu peserta
konvensi calon presiden dari Partai Demokrat ini juga menilai peran
perguruan tinggi yang berada di bawah Kemdikbud saat ini masih dirasakan
ekslusif oleh masyarakat umum, karena ilmu yang dikembangkannya hanya
dirasakan oleh mahasiwanya, tapi tidak menular ke masyarakat umum.
Di era globalisasi saat ini, kata Irman, paradiga perguruan tinggi
selayaknya ditata ulang dengan memposisikan perguruan tinggi sebagai
basis serta pusat pertumbuhan untuk masyarakat, paling tidak sekitar.
“Jika masyarakat bisa menikmati dampak keilmuan dari perguruan tinggi,
maka keberadaan perguruan tinggi mampu berfungsi ganda secara riil.
yaitu bermanfaat bagi seluruh masyarakat, tidak hanya mahasiswanya
saja,” katanya.
Sementara itu, sebanyak 800 rektor dari 3.200 perguruan tinggi (PT) di
Indonesia menghadiri Forum Rektor Indonesia (FRI) 2014 di Universitas
Negeri Sebelas Maret (UNS). Dalam pertemuan tersebut dibahas tiga pokok
permasalahan, yakni kedaulatan rakyat dalam perencanaan pembangunan,
perencanaan pembangunan nasional yang integratif, serta kepemimpinan
nasional pada era Asia.
Menurut Ketua FRI 2014, Ravik Karsidi, tema yang diangkat dalam
pertemuan itu adalah tentang “Kedaulatan Rakyat dalam Perencanaan
Pembangunan Nasional pada Era Asia”. Pertemuan tersebut juga dalam
rangka untuk mengembalikan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) yang saat ini sudah hilang.
sumur
FRI Susun Naskah Akademik Memisah dari Kemendikbud
Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI), Ravik Karsidi, saat jumpa pers di
Rumah Dinas Rektor UNS, Rabu (5/2/2014), mengatakan FRI tengah mendorong
upaya-upaya peningkatan otonomi PT dengan berfokus pada pengembangan
riset dan teknologi. Negara, lanjutnya, perlu menyelenggarakan PT yang
otonom melalui pembentukan Kemenristek dan PT mulai 2015.
“Dalam temu rektor lalu, banyak rektor merasa hanya diposisikan sebagai
pimpinan satuan kerja [satker], sehingga kurang bebas menjalankan
otonomi kampus dan mimbar akademik. Hal ini membuat PT tak bisa berperan
maksimum,” ujarnya.
Kemendikbud mengelola jenjang pendidikan dari TK hingga PT yang bagi
anggota FRI dirasa terlalu luas. Menurut Ravik, PT dimungkinkan untuk
memisah dan bergabung dengan Kemenristek, Lembaga Penelitian dan Ilmu
Pengetahuan (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang
memiliki rumpun tugas yang sama. Meskipun hasil temu FRI lebih condong
PT bergabung dengan Kemenristek.
“PT jangan disamakan dengan SMP atau SMA, karena persamaan PT dan
sekolah di bawahnya hanya sama-sama lembaga pendidikan. Sementara PT
mempunyai tridarma perguruan tinggi yang mencakup penelitian dan
pengabdian masyarakat, dua ini tak dimiliki lembaga pendidikan di bawah
PT,” terangnya.
Ravik menyadari ini sebagai tugas ketua FRI untuk mengkomunikasikan
usulan ini melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Direktorat jenderal (Dirjen) baik di Kemenristek dan
Kemendikbud, hingga presiden terpilih nanti.
“Kami ingin adanya efisiensi dan koordinasi. Bergabung dengan Kemenristek, cara agar riset PT dapat berkembang,” terangnya.
Gagasan FRI ini, lanjut Ravik, akan dikonseptualisasi melalui naskah
akademik. “Keputusan ini intinya restrukturisasi kabinet. Anggaran
pengembangan riset di Indonesia yang tersebar dalam sejumlah Badan,
Lembaga, dan Kementerian, dapat disatukan sehingga mendorong riset di
PT,” terangnya.
Lebih-lebih anggaran pendidikan 20 persen, lanjut Ravik, bukan hanya
anggaran untuk kemendikbud saja, tetapi kemenag, kemenristek, LIPI dan
sejumlah badan lain.
Sejumlah keputusan hasil Temu Tahunan FRI dan Konvensi Kampus X tertuang
dalam Rumusan Konvensi. Rumusan tersusun dalam delapan poin di
antaranya menggalang persiapan menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
agar Indonesia siap bersaing secara bermartabat dan menyejahterakan;
mengembalikan kedaulatan rakyat dengan mewacanakan kembali Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN); mendorong pelaksanaan sistem demokrasi di
Indonesia lebih bermartabat dengan mengedepankan manfaat bagi
pembangunan nasional; mengharapkan strategi pembangunan ekonomi melalui
memperdalam konsep Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk mengantisipasi krisis ekonomi dunia.
Sementara berkaitan tahun politik ini, FRI mencanangkan program kerja
pendidikan pemilu bersih, pengawasan pemilu jujur dan adil, menggelar
seminar/diskusi/ talk show untuk mengkritisi program kerja partai
politik dan calon presiden, merumuskan masukan untuk GBHN baru, dan
merumuskan kebijakan otonomi kampus.
sumur
Ingin Riset dan Penelitian Maju, Bikin Saja Kementerian Pendidikan Tinggi
Dirjen Dikti Kemdikbud Joko Santoso mengatakan, kalau perguruan tinggi
berada dalam naungan Kementerian Riset, Teknologi (Kemenristek) itu
namanya terbalik sebab justru risetnya itu yang harus di bawah Dikti.
Dalam Tridharma perguruan tinggi, kata Joko, nomor satu itu pendidikan
tinggi, kedua penelitian, dan ketiga pengabdian kepada masyarakat. Oleh
karena itu yang utama pendidikan tingginya, di dalam pendidikan tinggi
itu mencakup riset dan penelitian.
“Kalau ingin riset dan penelitian maju, maka perlu dibuat Kementerian
Pendidikan Tinggi, bukan malah perguruan tinggi berada di bawah naungan
Kemenristek. Faktanya penelitian dan riset di bawah Kemenristek masih
kurang maju, malah banyak perguruan tinggi yang penelitian dan risetnya
jauh lebih maju,” kata Joko.
Menurut Joko, riset dan penelitian yang paling maju itu nomor satu di
ITB, kedua UI, ketiga UGM, dan keempat IPB, baru terakhir LIPI. “Apa
benar kalau perguruan tinggi di bawah Kemenristek nanti risetnya akan
lebih maju, kenyataannya, malah perguruan tinggi banyak yang risetnya
lebih maju,” katanya.
Terkait adanya anggapan perguruan tinggi riset dan penelitiannya kurang
maju karena berada di bawah Kemdikbud, Joko mengatakan, kalau yang
membicarakan hal itu dari universitas yang cilik-cilik (kecil-kecil)
memang riset dan penelitiannya masih kurang maju. “Tapi lihat,
penelitian dan riset UGM itu mengalahkan LIPI,” katanya.
Intinya, terang Joko, riset dan penelitian perguruan tinggi itu maju
atau tidak bukan karena di bawah kementerian tertentu. Namun kalau
memang ingin riset dan penelitiannya maju dan fokus, perlu dibentuk
Kementerian Pendidikan Tinggi, bukan menaruh perguruan tinggi di bawah
naungan Kemenristek.
sumur
Kemenristek Naungi Kampus, Kemendikbud Harus Introspeksi
Berbagai masalah administratif yang melingkupi penyelenggaraan perguruan
tinggi ditengarai menjadi penyebab lahirnya wacana pemisahan perguruan
tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Forum
Rektor Indonesia (FRI) mewacanakan agar perguruan tinggi berada di bawah
Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).
Menurut Rektor Universitas Trilogi Prof. Dr. Asep Saefuddin, M.Sc.,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemendikbud
menganggap perguruan tinggi sebagai satuan kerja, sejenis jawatan. Tidak
heran, hubungan birokrasi yang terjalin hanya bersifat vertikal; dan
ini menular ke manajemen internal perguruan tinggi. Selain itu, kata
Asep, pendekatan yang terlalu birokratis tadi membuat atmosfer riset dan
entrepreneurship di perguruan tinggi tidak berkembang.
"Hierarki atasan-bawahan dan patron-client terlalu menonjol di komunitas
akademik. Saya pikir inilah yang memicu FRI menggagas agar perguruan
tinggi berada di bawah Kemenristek. Karena, pendekatan terlalu
administratif akan menghilangkan jiwa seseorang untuk mencari kebenaran
lewat ilmu pengetahuan," ujar Asep, seperti dikutip dari keterangan
tertulis Universitas Trilogi kepada Okezone, Senin (17/2/2014).
Asep menilai, gagasan pisah kongsi ini seharusnya menjadi bahan
introspeksi bagi Kemendikbud. Menurut Guru Besar (Gubes) Bidang
Statistika itu, Kemendikbud belum optimal memainkan peranan perguruan
tinggi dalam bidang riset.
Bahkan, imbuhnya, riset-riset di perguruan tinggi terlihat lebih
berbasis pada orientasi administratif saja. Sejatinya, orientasi riset
adalah ke arah kemanfaatan dari penelitian tersebut.
"Sebenarnya jangan sampai orientasi kenaikan pangkat menjadi tujuan
riset di perguruan tinggi. Seharusnya sistem didesain sedemikian rupa,
sehingga kenaikan pangkat adalah efek dari kinerja seseorang," imbuh
Asep.
sumur
==================================================
Sumber: http://www.kaskus.co.id/thread/5309552ea3cb171f1b8b473a/perguruan-tinggi-sebaiknya-di-bawah-naungan-siapa
Sunday, October 26, 2014
0 Comments
Facebook Comments by
Media Blogger
Subscribe to:
Post Comments (Atom)